Sisis Psikologi Batman

Judul: Batman Unmasked – The Psychology of the Dark Knight

Jenis: Nonfiksi, Dokumenter, Televisi

Produser: Prometheus Entertainment

Saluran: The History Channel

Rating: PG (Bimbingan Orangtua)

Tahun Tayang: 2008

Durasi: 44 menit

Apakah anda sudah menonton The Dark Knight? Luar biasa sekali, ya? Dalam film besutan sutradara Christopher Nolan ini, lagi-lagi kita tidak hanya disuguhi adegan-adegan aksi yang memukau, tapi juga plot cerita dan karakterisasi tokoh yang dalam dan sarat muatan psikologis. Setelah menonton tayang perdana filmnya pada hari Jumat lalu, saya jadi mulai mereka-reka: Apa yang membuat Bruce Wayne memilih untuk menjadi Batman? Kenapa ia harus mengenakan kostum bodoh, menyelinap di malam hari, dan memukuli para begundal?

Ketika mencari-cari bahan untuk membuat postingan semacam itu, saya menemukan ini. Sebuah rekaman video dari program The History Channel yang membahas secara menyeluruh dan mendalam mengenai sosok seorang Batman dari kaca mata psikologi. Karena belum ada stasiun televisi di Indonesia (termasuk penyedia layanan TV kabel berbayar) yang menayangkan program ini, izinkan saya menceritakan sedikit dari apa yang saya tonton kepada anda sekalian.

Masa Lalu yang Kelam

Salah satu kunci untuk memahami pikiran Batman adalah dengan melihat masa lalunya. Pemicu pertamanya adalah trauma akibat ‘serangan’ kelelawar ketika terperosok ke dalam sebuah gua di bawah rumahnya. Hal ini membuat Bruce Wayne cilik menjadi seorang anak yang penakut dan penuh kecemasan. Dalam suatu acara opera, kepanikan Bruce membuat ia dan orangtuanya pulang lebih awal lewat pintu belakang. Seperti yang kita tahu kemudian, seorang penodong menghadang mereka dan akhirnya membunuh suami-istri Wayne.

Menurut Jeffrey Lieberman, seorang psikiater dari Columbia University, anak-anak sering menganggap suatu peristiwa terjadi karena perbuatannya. Dalam banyak kasus perceraian misalnya, anak kerapkali merasa bersalah karena kedua orangtuanya bercerai meskipun sebenarnya bukan mereka yang menjadi penyebabnya. Bagi Bruce, ketakutannyalah yang menyebabkan kematian kedua orangtuanya, dan ini menyebabkan ia merasa begitu bertanggung jawab.

Benjamin R. Karney, profesor psikologi sosial dari UCLA, kemudian memberi analisis bahwa sejak saat itulah Bruce Wayne tumbuh sebagai seseorang yang insecure. Ia tak mampu menjalin hubungan lebih dekat dengan orang lain tanpa merasa trauma kalau-kalau suatu saat mereka akan direnggut darinya, sama seperti orangtua Bruce dulu. Saat itulah kepribadian Batman sebagai pahlawan yang penyendiri (bahkan saat di sisinya ada Robin dan Batgirl) terbentuk.

Sebagai Bruce Wayne, trauma itu juga menyebabkan hubungan cintanya sulit berkembang. Dalam berbagai komik, serial animasi, maupun film, calon kekasih Bruce Wayne biasanya menjadi bulan-bulanan musuh-musuhnya; Bahkan bisa dikatakan, cinta bagi Batman ibarat kryptonite bagi Superman. Untuk menghindari risiko kehilangan itulah, Bruce Wayne kerap memposisikan dirinya sebagai playboy yang dikelilingi oleh banyak wanita, tapi tak ada satupun yang serius.

Menjadi Seekor Kelelawar

Di sisi lain, pengalaman traumatis itu menumbuhkan rasa keadilan yang kuat dalam diri Bruce. Dalam kematian orangtuanya, ia menemukan tujuan hidup: Memerangi ketidakadilan. Dan dalam alter-egonya sebagai Batman, ia mewujudkan tujuan itu. Kenapa kelelawar? Sama seperti dirinya yang takut oleh kelelawar, ia ingin agar para penjahat, yang menimbulkan rasa takut bagi masyarakat, kini ikut merasa takut terhadap Batman.

Pemilihan sosok kelelawar ini tidak hanya berdasarkan trauma masa kecil. Karney menambahkan, kebanyakan orang pada umumnya punya rasa takut terhadap kelelawar. Aktif di malam hari, terbang dengan jalur yang unpredictable, sosoknya tak terlihat jelas meski suara mencicitnya terdengar di mana-mana, dan mereka siap menggigit dan mengisap darah anda.

Selain itu, kelelawar secara historis juga merupakan perlambang dari kekuatan jahat. Ketika malaikat digambarkan memiliki sayap merpati, maka setan memiliki sayap berselaput dan telinga yang runcing panjang bak kelelawar. Dengan mengadaptasi sosok yang mengerikan dan berkonotasi negatif ini, kita bisa melihat sisi gelap dari Bruce Wayne dalam caranya memerangi kejahatan.

Topeng Di Balik Wajah yang Sebenarnya

Bagian kedua dari dokumenter ini menggali lebih jauh mengenai Bruce Wayne si milyuner dan Batman sang superhero. Manakah ‘diri’ yang sebenarnya? Sekilas mungkin kita dengan cepat menunjuk Bruce Wayne sebagai yang asli. Bukankah Batman yang mengenakan kostum dan diam-diam keluar malam?

Dengan berlandaskan struktur kepribadian menurut C. G. Jung, justru Bruce Wayne-lah yang merupakan persona, alias topeng yang dipertontonkan ke dunia luar. Persona adalah ’akting’ yang kita tampilkan supaya persepsi orang lain terhadap diri kita seperti yang kita inginkan. Selain itu, persona bisa juga merupakan ’tuntutan peran’ akan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari diri kita.

Sebaliknya, Batman adalah shadow, yaitu bagian terdalam dari ketidaksadaran kolektif manusia. Ia didominasi insting dan dorongan naluriah yang sangat kuat dan memiliki potensi merusak yang sangat berbahaya. Tapi jika disalurkan dengan benar, ia juga memiliki kekuatan yang sangat besar. Dalam diri Bruce Wayne, insting itu adalah rasa keadilan yang kuat, dan wujudnya adalah Batman.

Bukan Superhero Biasa

Sementara masalah hukum tidak begitu disinggung dalam kebanyakan cerita superhero lain, persinggungan Batman versus hukum dan penegaknya merupakan salah satu tema inti.Batman adalah pahlawan yang ‘main hakim sendiri’ di luar hukum; seorang vigilante (maaf, saya nggak tahu padanan Indonesianya). Tak hanya menolak orang lain untuk mengikuti jejaknya, ia juga secara legal dianggap (dan diburu) sebagai penjahat karena aksi-aksinya. Selain karena korupnya institusi hukum di kota Gotham, hal ini lagi-lagi menunjukkan perasaan insecure-nya.

Selain insecurity-nya, Karney berkesimpulan bahwa Bruce Wayne memiliki hero complex, sebuah perilaku obsesif-kompulsif untuk menolong orang lain, mengontrol situasi yang kacau, dan membenarkan yang salah. Tak jarang obsesi ini membuatnya rela mengorbankan kehidupan normalnya yang tidak mendukung tujuan Batman. Seperti yang kita lihat dalam film Batman Begins, Bruce Wayne tak akan segan-segan mengusir tamu-tamunya serta menghancurkan reputasi dan membakar rumahnya, semuanya demi mengalahkan musuh-musuhnya.

Setelah melihat berbagai ’kelainan’ seorang Batman, mungkin kita kemudian bertanya-tanya: Lalu apa yang super dari superhero yang satu ini? Ia bukan makhluk dari planet lain. Ia tidak punya kekuatan super; Bahkan sebagai Batman, ia tak pernah menggunakan kekayaannya yang berlimpah kecuali untuk menciptakan gadget-gadget canggih (yang seringkali masih kalah canggih dari gadget fantastis superhero lain). Ia hanya manusia biasa dengan masa lalu yang tragis.

Yang membuat Bruce Wayne menjadi super adalah tekadnya. Ia menggunakan momen kematian orangtuanya untuk membentuk makna hidupnya. Alih-alih jatuh dalam depresi dan keputusasaan, ia mendisiplinkan dirinya dengan kontrol dan nilai moral yang kuat untuk mengubah dirinya dan lingkungan sekitarnya menjadi lebih baik. Akhirnya bisa kita lihat, Bruce Wayne kecil yang penakut menjelma menjadi Batman yang tak kenal takut. Dan dengan kemampuan super semacam itu, kita semua sebenarnya berpotensi untuk menjadi seperti dia.

sumber: http://popsy.wordpress.com/2008/07/22/di-balik-topeng-batman-psikologi-seorang-superhero/#comment-14001

Tentang rifas
seseorang yang sedang mencari jati diri...

2 Responses to Sisis Psikologi Batman

  1. ageng says:

    wah penggemar super hero nih, hahahaha.

Tinggalkan komentar